Rabu, 16 Maret 2011

PENDAHULUAN
Ajaran Islam menjadikan Ibadah yang mempunyai aspek sosial sebagai landasan membangun suatu sistem yang mewujudkan kesejahteraan Dunia dan Akhirat. Dengan mengintegrasikannya dalam Ibadah berarti memberikan peranan penting pada keyakinan keimanan yang mengendalikan seorang mukmin dalam hidupnya. Demikian fungsi sesungguhnya dari Ibadah yang dikenal dengan nama zakat. Dan dalam kelanjutannya peranan organisasi dan kekuasaan yang mengatur dan mengayomi masyarakat juga di ikut sertakan, yaitu dengan adanya Amilin dan Imam atau khalifah yang aktif dalam menjalankan dan mengatur pelaksanaan tersebut. Zakat bukanlah satu-satunya gambaran dari sistem yang ditampilkan oleh ajaran islam dalam mewujudkan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Namun harus diakui bahwa zakat sangat penting arti dan kedudukannya karena merupakan titik sentral dari sitem tersebut.
Dalam pelaksanaan zakat terdapat tiga pihak: pihak pertama yaitu pembayar zakat (muzakki), pihak kedua, yaitu penerima zakat(mustahiq), dan pihak ketiga, yaitu penyalur zakat.(qabidh), yang terdiri dari Imam dan aparatnya, atau wakil muzakki.
Jenis kelompok penerima zakat (Al-ashnaf) yang di tetapkan langsung oleh Allah sebagaimana termaktub dalam ayat 60 surat At-taubah merupakan daftar penerima zakat yang lengkap. Namun tidak mutlak bahwa semua jenis atau kelompok itu tetap ada sepanjang masa. Menurut Imam Ibnu Shalah, Al-ashnaf yang ada sekarang hanya empat, yaitu fakir, miskin, gharim dan ibnu sabil. Tetapi menurut Al-qadhi Abu hamid hanya dua, yaitu fakir dan miskin saja. Dalam hubungan ini, Syaikh Syarbini Al-khathib mengomentari bahwa adanya perbedaan itu semoga saja bersangkutan dengan keadaan pada zaman masing-masing, namun pada zaman kita tidak ada Al-ashnaf yang tidak ada, kecuali mukatabin. Tetapi, terdapat pula dalam suatu hadits bahwa di penghujung zaman, orang akan berkeliling menawarkan zakatnya, namun ia tidak akan bejumpa dengan orang yang menerima zakat, yaitu ketika zaman dimana penerima zakat tidak terdapat lagi karena kesejahteraan yang sudah merata.
Salah satu perkembangan yang dapat kita amati sekarang ini ialah adanya  arus perpindahan agama, sehingga sejumlah WNI  keturunan cina dan pemeluk agama masehi masuk menganut agama. Oleh karenanya perlu kiranya kita menaruh perhatian pada kelompok Muallaf ini. Pembinaan mereka melalui zakat tidak dapat di abaikan.
Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Mustahik Az-zakah dan pendistribusiannya (Masharifuss zakat dan Al-ashnaf). Penulis akan menyajikan delapan golongan yang berhak menerima zakat  karena merujuk pada firman Allah surah At-taubah Ayat 60. Serta kesepakatan Ulama Fiqih mengenai hal ini.

                     MASHARIFUS ZAKAT DAN AL-ASHNAF
(pendistribusian zakat dan orang yang berhak menerimanya)

Delapan golongan yang berhak menerima zakat


a SesArtinya: “sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(Q.s. at-taubah:60)
Kesepakatan Ahli Fiqh menetapkan bahwa yang berhak menerima zakat itu adalah delapan golongan atau jenis. Untuk membagikan zakat kepada mereka terjadi persoalan, yaitu apakah harus kepada semua mereka atau cukup kepada orang seorang saja. Apakah harus melalui amil untuk memberikan zakat kepada semua mustahik, atau boleh secara langsung si muzakki membagi-bagikannya kepada semua mustahik.[1]
            Persoalan yang terjadi dalam pengelolaan zakat yang disebut di atas, ternyata tidak ada kesepakatan di kalangan ahli fiqh.
            Imam Syafi’I mengatakan jika yang membagi-bagikan zakat itu adalah muzakki secara langsung, atau wakilnya, maka dalam hal ini amil tidak mendapat apa-apa dari zakat tersebut, karena ia mendapatkannya sesuai dengan kadar usahanya. Sedangkan dalam hal ini ia tidak berusaha. Dengan demikian mustahik yang berhak tinggal tujuh golongan lagi; zakat dibagikan oleh muzakki kepada mereka yang tujuh golongan ini. Zakat sedapat mungkin diberikan kepada mustahik yang ada di negeri tempat tinggal si muzakki. Tetapi jika tidak ada mustahik di negerinya baru diberikan kepada mustahik yang berada di negeri lain.[2]
            Pendapat Imam Syafi’I yang menginginkan agar zakat diberikan kepada semua yang berada di negeri zakat, mengandung kelemahan sebagai berikut:
1.      Mustahik yang delapan golongan yang disebut dalam Al-Quran itu bisa berada di berbagai daerah. Jika demikian muzakki akan merasa kesulitan membagi-bagikan zakatnya. Jika ia menunggu sampai masing-masing mustahik itu ada, maka tidak sesuai dengan kehendak hadits yang menginginkan zakat itu segera dibayarkan.
2.      Jika zakatnya hanya sedikit, sehingga jika dibagi-bagikan kepada semua mustahik, maka tujuan zakat itu tidak terpenuhi, karena bagian yang sedikit yang diterimanya tidak akan banyak manfaatnya.
3.      Ayat yang menerangkan Asnaf-Asnaf Zakat, bukan berarti harus dibagikan kepada nereka semua; tetapi adalah menjelaskan jenis-jenis yang berhak menerima zakat. Jika diberikan kepada salah satu jenis, maka kewajiban telah terpenuhi.
Para ahli fiqh dari kalangan hanafi mengatakan, muzakki boleh memberikan zakat kepada siapa saja diantara mustahik yang ia kehendaki. Pendapat ini juga mengandung kelemahan, karena di antara sekian banyak mustahik itu pasti ada yang lebih membutuhkan atau kebutuhan lebih mendesak. Jika muzakki boleh memberikan kepada siapa saja yang dikehendakinya, bisa orang yang paling butuh tadi tertinggalkan. Oleh sebab itu ahli fiqh Hanafiyah mengatakan hukum memberikan zakat kepada mustahik yang berada di negeri lain adalah makruh tanzih, selama dinegerinya masih ada mustahik zakat. Namun mereka menegaskan jika memang ada mustahik di negeri lain yang lebih mendesak kebutuhannya, maka dalam hal ini boleh memindahkan zakat ke negeri lain.[3]
Imam Malik mengatakan, muzakki boleh memberi zakat kepada siapa saja diantara mustahik yang ada, tetapi ia harus memperhatikan siapa di antara mereka yang lebih membutuhkan, dan kepada mereka inilah lebih utama zakat diberikan. Mereka membolehkan memindahkan zakat kepada mustahik yang ada di negeri lain selama jarak negeri itu dengan negeri muzakki tidak sampai pada jarak qashar shalat. Seandainya melebihi dari jarak qashar shalat hukumnya tidak boleh, kecuali jika mustahik paling membutuhkan berada di negeri itu.[4]
Pendapat ini kelihatan lebih rasional, karena dengan demikian zakat yang bertujuan membantu orang yang sedang membutuhkan dapat terlaksana secara effesien dan effektif. Akan tetapi, lebih tepat lagi jika semua zakat diserahkan kepada amil, karena disamping lebih mudah bagi muzakki membayarkan zakatnya, para amil itu mempunyai perangkap lengkap untuk meneliti kepada siapa yang lebih pantas zakat itu diutamakan.