PENDAHULUAN
Ajaran Islam menjadikan Ibadah yang mempunyai aspek sosial sebagai landasan membangun suatu sistem yang mewujudkan kesejahteraan Dunia dan Akhirat. Dengan mengintegrasikannya dalam Ibadah berarti memberikan peranan penting pada keyakinan keimanan yang mengendalikan seorang mukmin dalam hidupnya. Demikian fungsi sesungguhnya dari Ibadah yang dikenal dengan nama zakat. Dan dalam kelanjutannya peranan organisasi dan kekuasaan yang mengatur dan mengayomi masyarakat juga di ikut sertakan, yaitu dengan adanya Amilin dan Imam atau khalifah yang aktif dalam menjalankan dan mengatur pelaksanaan tersebut. Zakat bukanlah satu-satunya gambaran dari sistem yang ditampilkan oleh ajaran islam dalam mewujudkan kesejahteraan umum bagi masyarakat. Namun harus diakui bahwa zakat sangat penting arti dan kedudukannya karena merupakan titik sentral dari sitem tersebut.
Dalam pelaksanaan zakat terdapat tiga pihak: pihak pertama yaitu pembayar zakat (muzakki), pihak kedua, yaitu penerima zakat(mustahiq), dan pihak ketiga, yaitu penyalur zakat.(qabidh), yang terdiri dari Imam dan aparatnya, atau wakil muzakki.
Jenis kelompok penerima zakat (Al-ashnaf) yang di tetapkan langsung oleh Allah sebagaimana termaktub dalam ayat 60 surat At-taubah merupakan daftar penerima zakat yang lengkap. Namun tidak mutlak bahwa semua jenis atau kelompok itu tetap ada sepanjang masa. Menurut Imam Ibnu Shalah, Al-ashnaf yang ada sekarang hanya empat, yaitu fakir, miskin, gharim dan ibnu sabil. Tetapi menurut Al-qadhi Abu hamid hanya dua, yaitu fakir dan miskin saja. Dalam hubungan ini, Syaikh Syarbini Al-khathib mengomentari bahwa adanya perbedaan itu semoga saja bersangkutan dengan keadaan pada zaman masing-masing, namun pada zaman kita tidak ada Al-ashnaf yang tidak ada, kecuali mukatabin. Tetapi, terdapat pula dalam suatu hadits bahwa di penghujung zaman, orang akan berkeliling menawarkan zakatnya, namun ia tidak akan bejumpa dengan orang yang menerima zakat, yaitu ketika zaman dimana penerima zakat tidak terdapat lagi karena kesejahteraan yang sudah merata.
Salah satu perkembangan yang dapat kita amati sekarang ini ialah adanya arus perpindahan agama, sehingga sejumlah WNI keturunan cina dan pemeluk agama masehi masuk menganut agama. Oleh karenanya perlu kiranya kita menaruh perhatian pada kelompok Muallaf ini. Pembinaan mereka melalui zakat tidak dapat di abaikan.
Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang Mustahik Az-zakah dan pendistribusiannya (Masharifuss zakat dan Al-ashnaf). Penulis akan menyajikan delapan golongan yang berhak menerima zakat karena merujuk pada firman Allah surah At-taubah Ayat 60. Serta kesepakatan Ulama Fiqih mengenai hal ini.
MASHARIFUS ZAKAT DAN AL-ASHNAF
(pendistribusian zakat dan orang yang berhak menerimanya)
Delapan golongan yang berhak menerima zakat
a SesArtinya: “sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(Q.s. at-taubah:60) |
Kesepakatan Ahli Fiqh menetapkan bahwa yang berhak menerima zakat itu adalah delapan golongan atau jenis. Untuk membagikan zakat kepada mereka terjadi persoalan, yaitu apakah harus kepada semua mereka atau cukup kepada orang seorang saja. Apakah harus melalui amil untuk memberikan zakat kepada semua mustahik, atau boleh secara langsung si muzakki membagi-bagikannya kepada semua mustahik.[1]
Persoalan yang terjadi dalam pengelolaan zakat yang disebut di atas, ternyata tidak ada kesepakatan di kalangan ahli fiqh.
Imam Syafi’I mengatakan jika yang membagi-bagikan zakat itu adalah muzakki secara langsung, atau wakilnya, maka dalam hal ini amil tidak mendapat apa-apa dari zakat tersebut, karena ia mendapatkannya sesuai dengan kadar usahanya. Sedangkan dalam hal ini ia tidak berusaha. Dengan demikian mustahik yang berhak tinggal tujuh golongan lagi; zakat dibagikan oleh muzakki kepada mereka yang tujuh golongan ini. Zakat sedapat mungkin diberikan kepada mustahik yang ada di negeri tempat tinggal si muzakki. Tetapi jika tidak ada mustahik di negerinya baru diberikan kepada mustahik yang berada di negeri lain.[2]
Pendapat Imam Syafi’I yang menginginkan agar zakat diberikan kepada semua yang berada di negeri zakat, mengandung kelemahan sebagai berikut:
1. Mustahik yang delapan golongan yang disebut dalam Al-Quran itu bisa berada di berbagai daerah. Jika demikian muzakki akan merasa kesulitan membagi-bagikan zakatnya. Jika ia menunggu sampai masing-masing mustahik itu ada, maka tidak sesuai dengan kehendak hadits yang menginginkan zakat itu segera dibayarkan.
2. Jika zakatnya hanya sedikit, sehingga jika dibagi-bagikan kepada semua mustahik, maka tujuan zakat itu tidak terpenuhi, karena bagian yang sedikit yang diterimanya tidak akan banyak manfaatnya.
3. Ayat yang menerangkan Asnaf-Asnaf Zakat, bukan berarti harus dibagikan kepada nereka semua; tetapi adalah menjelaskan jenis-jenis yang berhak menerima zakat. Jika diberikan kepada salah satu jenis, maka kewajiban telah terpenuhi.
Para ahli fiqh dari kalangan hanafi mengatakan, muzakki boleh memberikan zakat kepada siapa saja diantara mustahik yang ia kehendaki. Pendapat ini juga mengandung kelemahan, karena di antara sekian banyak mustahik itu pasti ada yang lebih membutuhkan atau kebutuhan lebih mendesak. Jika muzakki boleh memberikan kepada siapa saja yang dikehendakinya, bisa orang yang paling butuh tadi tertinggalkan. Oleh sebab itu ahli fiqh Hanafiyah mengatakan hukum memberikan zakat kepada mustahik yang berada di negeri lain adalah makruh tanzih, selama dinegerinya masih ada mustahik zakat. Namun mereka menegaskan jika memang ada mustahik di negeri lain yang lebih mendesak kebutuhannya, maka dalam hal ini boleh memindahkan zakat ke negeri lain.[3]
Imam Malik mengatakan, muzakki boleh memberi zakat kepada siapa saja diantara mustahik yang ada, tetapi ia harus memperhatikan siapa di antara mereka yang lebih membutuhkan, dan kepada mereka inilah lebih utama zakat diberikan. Mereka membolehkan memindahkan zakat kepada mustahik yang ada di negeri lain selama jarak negeri itu dengan negeri muzakki tidak sampai pada jarak qashar shalat. Seandainya melebihi dari jarak qashar shalat hukumnya tidak boleh, kecuali jika mustahik paling membutuhkan berada di negeri itu.[4]
Pendapat ini kelihatan lebih rasional, karena dengan demikian zakat yang bertujuan membantu orang yang sedang membutuhkan dapat terlaksana secara effesien dan effektif. Akan tetapi, lebih tepat lagi jika semua zakat diserahkan kepada amil, karena disamping lebih mudah bagi muzakki membayarkan zakatnya, para amil itu mempunyai perangkap lengkap untuk meneliti kepada siapa yang lebih pantas zakat itu diutamakan.
Adapun untuk lebih rincinya tentang firman allah yang menerangkan rincian delapan kelompok yang behak menerima zakat tersebut sudah jelas, tidak perlu untuk di jelaskan lebih lanjut, kecuali (yang perlu) mengetahui tentang (siapkah orang yang bisa disebut sebagai) kelompok-kelompok delapan tersebut di atas.
1.fakir
Orang yang (dianggap) fakir di dalam hal (berhak menerima) zakat adalah, orang yang tidak mempunyai harta dan tidak pula mempunyai pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, adapun fakir dalam ‘Araya (menjual buah kurma atau anggur yang masih basah dan masih berada di pohon lalu di adakan penaksiran, kemudian di tukarkan dengan kurma atau anggur yang sudah masak, yang sudah di ambil dari pohonnya, dalam takaran tertentu). Orang fakir dalam hal ‘Araya itu, adalah orang yang tangannya tidak memegang uang saja (tapi sebenarnya masih punya kekayaan ).[5]
Sedangkan menurut A,hasan dalam bukunya berpendapat bahwa fakir itu adalah, mereka yang ketiadaan, hingga melarat dan sengsara. Dengan mendapat bagian dari zakat itu, merekapun berusaha sedapat mungkin untuk menghindarkan diri dari hal-ikhwalnya tersebut.[6]
2.miskin
Adalah orang yang mempunyai harta atau pekerjaan, dimana masing-masing harta dan pekerjaannya dapat menjadi sebagai sumber penghasilan hidup, tetapi tidak mencukupi, seperti orang tersebut membutuhkan (belanja) 10 dirham, sementara (penghasilannya) yang di dapat olehnya 7 dirham.[7]
Para ulama fiqih yang berpendapat bahwa fakir dan miskin adalah dua kata yang mempunyai satu arti yaitu orang yang serba kekurangan atau orang yang benar-benar membutuhkan. Ada yang mengatakan bahwa dua kata itu memiliki arti yang berbeda, karena kalau keduanya mempunyai arti satu niscaya allah tidak perlu menyebut dua kali dengan istilah yang berbeda, ahli fiqih madzhab syafi’e dan hambali misalnya mengatakan makan kedua istilah itu jelas berbeda, orang fakir menurut mereka, lebih parah keadaan ekonominya dari pada orang miskin, orang fakir adalah orang yang sama sekali tidak memiliki harta dan pekerjaan. Jika pun ada hanya dapat menutupi sekitar duapuluh lima persen dari kebutuhan pokok keluarga yang wajib di nafkahinya. Sedangkan orang miskin adalah orang yang mamiliki harta atau pekerjaan, tetapi hanya dapat menutupi sekitar lima puluh persen atau lebih dari kebutuhannya, dan kebutuhan keluarga yang wajib di nafkahinya namun tetap juga tidak mencukupi.[8]
3.Amil zakat
Ialah orang yang diberi tugas oleh seorang imam (pemimpin pemerintahan) untuk mengurus pemungutan shadaqah fitrah dan memberikannya kepada orang-orang yang berhak menerima sadhaqah fithrah tersebut.[9] Termasuk dalam pengertian ini juga semua orang yang terlibat dalam pengelolaan zakat itu, seperti penjaga keselamatan zakat, pengembala zakat ternak, sekertaris, pengumpul distributor, dan sebagainya.[10]
Dalam kitab minhajul muslim di jelaskan bahwa petugas zakat di beri upah dari zakat kendati dia orang kaya, karena rosulullah SAW bersabda:
لاتحل الصدقة لغني الا لخمسة : لعا مل عليها اورجل اشتراها بماله, اوغارم في سبيل الله, او مسكين, تصدق عليه منها فاهدى منها لغني.
Artinya: sadhaqah (zakat) tidak halal bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, petugasnya, orang yang membeli zakat dengan hartanya, orang yang berhutang, pejuang di jalan allah, atau orang miskin yang bersadhaqah dengannya kemudian menghadiahkannya kepada orang kaya. (HR. Ahmad).(abu bakar jabir al-jazairi. Ensiklopedi islam minhajul muslim. Jakarta timur:darul falah, hal.407.)
4.muallaf
Ialah orang yang disenang-senangkan hatinya, terdapat empat macam, satu di antarnya ialah: orang-orang muallaf dari kalngan kaum muslimin, yaitu orang yang sudah beragama islam, sementara niatnya (imannya agar menjadi muslim yang baik) masih lemah. Makan karenanya perlu di senang-senangkan (digairahkan). Yaitu dengan memberikan zakat kepadanya.[11]
5.Budak
Adalah budak yang sudah dijanjikan akan di merdekakan dengan syarat membayar kepada tuannya dengan diangsur, hal mana dapat dianggap shah (dipertanggung jawabkan). Adapun budak mukatab yang tidak bisa di pertanggung jawabkan ke abshahannya, maka tidak berhak untuk diberi zakat, dari bagiannya kelompok budak mukatab tersebut.[12]
6. Gharim
Adalah orang yang mempunyai beban hutang. Terdapat tiga macam kategori. Satu di antarnya ialah orang yang mempunyai beban hutang hal mana dilakukan demi ketentraman (rendahnya) suatu fitnah (bergejolak) di antar kedua belah pihak, di dalam suatu kasus pembunuhan hal mana tidak jelas siapakah pembunuhnya.[13]
Maka, sebab kasus pembunuhan tersebut , dia memikul beban hutang. Maka karenanya, hendaklah dibayarkan hutang orang itu (diambilkan) dari bagian zakat (yang berhak diberikan) orang-orang yang mempunyai beban hutang, baik orang tersebut yang kaya, atau dia orang fakir.
Dan sesungguhnya orang yang mempunyai beban hutang itu harus diberi zakat, ketika hutang masih jadi beban tanggungannya. Maka dengan demikian. Jika dia sudah membayar lunas hutangnya dari hartanya sendiri, atau sekaligus saat peristiwa itu, hutangnya sudah dibayar lunas, maka dia tidak diberi hak zakat dari bagian kelompok orang-orang yang mempunyai beban hutang. Dan keterangan tentang macam-macamnya.
Sedangkan dalam kitab Minhajul muslim dijelaskan bahwa orang yang behutang yaitu orang yang berhutang tidak di jalan kemaksiatan kepada allah dan rosul-nya. Dan mendapatkan kesulitan untuk membayarnya, ia diberi zakat untuk melunasi hutangnya, karena Rosulullah SAW bersabda:
لاتحل المسألة الاّ لثلاث : لذي فقر مدقع اوغرم مفظع. او لذي دم موجع
Artinya: meminta-minta tidak diperbolehkan kecuali bagi tiga orang, orang yang sangat miskin, atau orang yang berhutang banyak, atau orang yang menangung diyat (ganti rugi karena luka, atau pembunuhan)”.(HR.At-timidzi dan ia menghasankannya).[14]
7. Sabilillah
Adalah amal perbuatan yang mengantarkan pada keridhaan allah ta’la dan surganya, terutama jihad untuk meninggikan kalimatnya. Jadi pejuang di jalan allah ta’la di beri zakat kendati orang kaya, jatah n berlaku umum bagi seluruh kemaslahatan-kemaslahatan umum agama, misalnya pembangunan masjid, pembanguna rumah sakit, pembangunan sekolah-sekolah, dan pembanguna panti asuhan anak-anak yatim. Tapi yang harus didahulukan adalah yang terkait dengan jihad. Misalnya penyiapan senjata, perbekalan pasukan, dan seluruh kebutuhan jihad di jalan Allah SWT[15]
Ibnu atsir berpendapat bahwa sabil artinya adalah at-tariq (jalan) sabilillh adalah kalimat yang bersifat umum mencakup segala amal perbuatan dir kepada allah dengan melaksanakan segala perbuatan wajib atau sunnah atau kewajiban-kewajiban lainnya. Ibnu atsir dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa kalimat sabilillah di jalan allah mempunyai dua bagian:[16]
1. Arti asal kata menurut bahasa adalah setiap amal perbuatan ikhlas yang di pergunakan untuk mendekatkan diri kepada allah, baik itu bersifat pribadi maupun yang bersifat kemasyarakatan.
2. Juga bisa dipahami bahwa kata-kata ni apabila bersifat mutlak adalah jihad sehingga karena seringnya dipergunakan itu seolah-olah artinya khusus untuk itu.
Selain keterangan ibnu atsir di atas mari kita lihat komentar para ulama maszhab mengenai kalimat (di jalan allah) sebagai berikut:
1. Golongan hanafi berpendapat bahwa arti sablillh adalah suka relawan yang terputus bekalnya dan tdak sanngup bergabung dengan tentara islam maka diberi zakat kepada mereka. Ulama kondang hanafi Al-kasani dalam kitab bada’i berkata sabilillh ialah semua amal perbuatan yang membawa dekat kepada allah.
2. Golongan maliki, ibnu arabi mengatakan bahwa sabilillah itu mempunyai banyak arti tetapi arti yang di sepakati ialah tentara yang iut berperang.
Ibnu abdussalam dari madzhab maliki berkata bahwa sabilillah tu berart dengan juang dan jihad atau yang dsamakan dengan itu seperti misalnya pos penjagaan.
Jumhur ulama maliki membolehkan mengeluarkan zakat kepada kepentingan jihad seperti senjata-senjata, kuda, benteng-benteng, kapal-kapal perang dan lain-lain.
3. Golongan syafi’i berkata bahwa sabilillha itu adalah suka relawan yang tida mendapatkan bagian dalam daftar gaji atau seperti pendapat ibnu atsir, tetapi mereka semata-mata suka relawan. Madzhab syafi’i ini sependapat dengan maliki mengkhususkan sarana ini pada jihad dan mujahidin dan mereka membolehkan memberi zakat kepada jihad dan mujahidin walaupun kaya.
4. Golongan hambali berpendapat sama dengan madzhab syafi’e bahwa yang di maksud dengan sabilillah adalah suka relawan yang berperang yang tidak memiliki gaji atau ada gaji tapi tidak mencukupi kebutuhan. Bagi madzhab ini diperbolehkan memberi zakat kepada penguasa untuk pembiayaan perang seperti mobil, persenjataan dan lain-lain.[17]
Demikian pendapat madzhab empat mengenai arti dan maksud dari kata-kata sabilillah yang kalau kita lihat rupanya mereka bersepakat, bahwa jihad itu secara pasti termasuk dalam ruang ligkup sabilillah. Akan tatapi di tafsirkannya pada semua hal yang mencakup kemaslahatan, dan mengandung arti pendekatan, perbuatan baik sesuai dengan penerapan dari kalimat tersebut.
8. Ibnu sabil
Adalah orang yang baru saja pergi dari daerah zakat dan dia masih berada didekat daerah tersebut, atau dia sedang bepergian melewati di daerah zakat, dan didalan hal ibnu sabil ini di syaratkan hendaknya kepergiannya benar-benar ada kepentingan, dan bukan untuk maksiat.[18]
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ibnu sabil ialah kiasan untuk musafir, yaitu orang yang melintasi dari satu daerah ke daerah lain. Assabil artinya at-tariq/jalan. .(Ahmad abd, majid, masa’il fiqhiyyah, GAROEDA BUANA INDAH, pasuruan,1994, hal.199.)
Al-quran menerangkan lafadz (ibnu sabil) sebanyak delapan tempat dala keadaan menunjukakkan kasih sayang dan berbuat baik kepadanya misalnya firman allah yang artinya:
Artinya: “dan berikanlah kepada keluarga, yang dekat akan haknya kepada orang-orang miskin dan orang dalam perjalanan”. ( AL ISRAA': ayat 26)
Firmannya lagi:
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (AL BAQARAH (Sapi betina) ayat 177)
Pendapat jumhur ulama tentang ibnu sabil ialah orang yang terputus bekalnya dan juga termasuk orang yang bermaksud melakukan perjalanan yang tidak mempunyai bekal keduanya di beri zakat untuk memenuhi kebutuhannya, karena orang yang bermaksud melakukan perjalanan bukan untuk bermaksud maksiat adalah menyerupai orang yang bepergian yang kehabisan bekal karena kebutuhan keduanya terhadap biaya pejalanan walaupun pengunaan ibnu sabil untuk makna yang kedua ini berdasarkan ucapan majas.
Selanjutnya tidaklah orang yang menginginkan atau bermaksud melakukan perjalanan berhak di beri bagian dari zakat, tetapi sebenarnya ibnu sabil adalah orang yang melakukan perjalanan demi kemaslahatan umum yang manfaatnya kembali kepada agama islam atau masyarakat islam seperti orang yang bepergian karena menuntut ilmu atau karena menjalankan tugas-tugas negara islam. Dalam hal itu dilakukan berdasrkan pertimabngan penilaian ahli ilmu dan ahli agama.[19]
Oleh sebab itu memberi zakat kepada ibnu sabil harus dengan syarat :
A. Hendaknya ia dalam keadaan membutuhkan sesuatu yang dapat menyampaikan ke negrinya dan kalau ia memiliki sesuatu yag dapat menyampaikan ke negrinya maka tidak perlu diberikan zakat.
B. Hendaknya pejalananya bukan pejalanan maksiat adapun yang perjalananya untuk maksiat seperti, membunuh orang lain, atau berdagang sesuatu yang di haramkan maka tidak perlu di beri zakat.
Pembayaran dan Pendistribusian Zakat dalam Bentuk Nilai
Mayoritas ahli fiqh mengatakan bahwa zakat tidak boleh dibayarkan dalam bentuk nilai sebagai ganti benda yang dikenakan wajib zakat. Mereka mengemukakan argumen bahwa zakat merupakan ibadah yang tergolong ghair ma’qul al-ma’na, yaitu ibadah yang harus dilaksanakan sebagaimana yang diperintahkan, tanpa mencari-cari illat atau hikmah pensyariatannya. Petunjuk tentang jenis harta kekayaan yang dikenakan wajib zakat yang diperhitungkan nisab dan diberikan kepada mustahiknya diterima dari hadits nabi SAW sebagai berikut.
عن معاذ رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلّم بعثه الى اليمن فقال خذ الحبّ من الحبّ والشاة من الغنم والبعيرمن الابل والبقرة من البقرة. (رواه ابو دود و ابنو ماجه والبيهقى والحاكم).
Artinya: Dari mu’az ra., bahwa SAW ketika mengutusnya ke negeri Yaman bersabda: “Pungutlah biji-bijian dari biji-bijian, kambing dari kambing, unta dari unta dan sapi dari sapi. “ (HR Abu Daud, ibnu majah, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Hadits ini menunjukkan bahwa zakat harta benda yang diperhitungkan Nishabnya dengan biji-bijian dan ternak, mesti dibayarkan dengan biji-bijian dan ternak, mesti dibayarkan dengan biji-bijian atau ternak.
Adapun harta kekayaan yang diperdagangkan menurut jumhur fuqaha, harus dibayarkan zakatnya dalam bentuk nilai, karena nisabnya diperhitungkan dengan nilai. Jika harta kekayaan yang diperhitungkan nisabnya dengan benda, maka zakatnya harus dalam bentuk benda, dan jika diperhitungkan dengan nilai harus dikeluarkan zakatnya dalam bentuk nilai.
Sedang menurut para ahli fiqh dari mazhab hanafi, muzakki boleh membayarkan zakat harta kekayaannya dengan benda atau nilainya, baik yang diperhitungkan nisabnya dengan benda maupun dengan nilai; karena yang menjadi tujuan zakat adalah menutupi kebutuhan orang yang membutuhkan. Untuk menutupi kebutuhan itu tidak mesti dengan benda tapi dapat juga dengan nilai.
Ahli Fiqh dari Mazhab Syafi’I dan Hambali mengatakan bahwa kepada orang-orang fakir dan miskin boleh dibayarkan dengan sesuatu yang diyakini kebutuhan keduanya tertutupi, misalnya jika mereka memiliki kemampuan bertani diberikan alat-alat pertanian, jika mereka memiliki kemampuan berdagang diberikan dalam bentuk modal dan seterusnya. Alasan mereka adalah zakat diperintahkan kepada orang kaya untuk menutupi kebutuhan fakir miskin yaitu melepaskan mereka dari kefakiran dan kemiskinan itu. Pendapat ni menginginkan zakat yang diberikan itu agar digunakan secara produktif oleh penerima bukan secara konsumtif, karena dengan demikianlah mereka dapat dilepaskan dari kefakiran dan kemiskinan. Hal ini sejalan pula dengan hadits Nabi SAW:
عن قبيصة قال رسول الله صلّي الله عليه وسلّم يا قبيصه أنّ المسالة لا تحل الا لاحد ثلا ثة رجل يحمل حما لة فحلت له المساء لة حتى يصيبها ثم يمسك ورجل اصا بته حا ءجة احتا حت ما له فحلّة له المساءلة حتى يصيب قواما من عيىش او رجل اصا بته فا قة فحلت له المساءلة حتى يصيب قواما من عيش. (رواه أحمد ومسلم وأبو داود والنساءى)
Artinya: Dari Qabishah, rasulullah bersabda : “hai Qabishah, sesungguhnya zakat itu tidak boleh diberikan kecuali untuk tiga golongan; yaitu orang yang menanggung beban (utang) kepadanya diberikan zakat hingga ia bebas dari lilitan utang. Orang yang tertimpa musibah yang mengakibatkan semua hartanya hilang kepadanya diberikan zakat sehingga ia bangun kembali sebagai seorang yang mandiri. orang yang ditimpa kemiskinan kepadanya diberikan zakat hingga ia terlepas dari kemiskinan itu dan hidup mandiri. “(HR Ahmad, Muslim, Abu daud dan al-Nasa’i).
Khalifah Umar Ibn Al-Khatab selalu memberikan kepada fakir miskin bantuan keuangan dari zakat yang bukan secara konsumtif melainkan secara produktif yaitu sejumlah modal berupa ternak unta dan lain-lain yang mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
KESIMPULAN
Jadi ada delapan golongan manusia yang berhak menerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-quran dan jumhur ulama Fiqih di atas. Jika terdapat delapan macam golongan itu semua, zakat itu harus dibagi-bagikan kepada semuanya. Jika yang ada hanya sebagian, diberikan kepada yang ada menurut kebijaksanaan amilnya.
Menurut sebagian ulama yang dimaksud dengan “sabilillah” bukan khusus hanya orang yang berperang di jalan Allah, tetapi segala apa saja yang tertuju untuk kepentingan Agama dan syare’atnya juga termasuk dalam “sabilillah”.
Seperti mendirikan madrasah, membangun masjid dan sebagainya asal kesemuanya itu dengan niat berjuang di jalan Allah, dan meniggikan kalimah Allah dapatlah diambilkan dari harta zakat demi untuk mengagungkan Agama.
Sebab disebutkan dalam Ushul Fiqh: “Kita harus berpegangan kepada keumuman sesuatu dalil selama dalil ‘Am tadi tidak ada yang mentakhsisnya, yang mengecualikan”.— (Lihat Ushul Fiqh)
Faham diatas sesuai dengan ketentuan-ketentuan Qaidah Ushul yang tepat dan jitu.
DAFTAR PUSTAKA
ABD, Muhammad, 1994, Al-mughni, Bairut: DAR AL-KITAB AL-ILMIYAH.
Amir, Dja’far, Ilmu Fiqih, solo: CV. RAMADHANI, 1991
Ritonga, rahman, zainuddin, Fiqih Ibadah, jakarta:GAYA MEDIA PRATAMA,1997.
Qasim al-ghaziy, Muhammad, Fat-hul Qarib, DAR IKHYA’ AL-KITAB AL-ARABIYAH, Indonesia.
Yafie, Ali, menggagas fiqih sosial, Bandung: MIZAN, 1994.
ABDMajid, Ahmad, Masa’il fiqhiyyah, Pasuruan: GAROEDA BUANA INDAH, 1994.
Jabir Al-jazairi, Abubakar, Ensiklopedi Islam Minhajul Muslim. Jakarta timur:DARUL FALAH
[1] Ritonga, rahman, zainuddin. fiqih ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, hal. 204.
[2] Ibid.
[3] Ibid. hal.205.
[4] Ibid.
[5] Muhammad bin al-ghazi, Fat-hul qarib, Dar Ikhya’ Al-kitab Al-arabia, Indonesia, Hal. 25.
[6] A.hassan, kumpulan risalah,PUSTAKA ELBINA, Bangil:2005, hal.209.
[7] Muhammad bin Al-ghazi, loc. Cit.,
[8] A.rahman ritonga. Zainuddin. Fiqih ibadah. Jakarta: Gaya media pratama, 1997, hal. 181.
[9] Muhammad bin Al-ghazi, loc. Cit.,
[10] Sayid sabiq, fiqih al-sunah, jilid 1, Beirut, Dar Afikr, cet.IV,1983,hal.676.
[11] Muhammad bin Al-ghazi, loc. Cit.,
[12] Muhammad bin Al-ghazi, loc. Cit.,
[13] Muhammad bin Al-ghazi, loc. Cit.,
[14] Abu Bakar Jabir Al-jazairi. Ensiklopedi islam minhajul muslim. Jakarta timur:darul falah, hal.407.
[15] Abu Bakar Jabir Al-jazairi, loc.cit.,
[16] Ahmad Abd, Majid, Masa’il fiqhiyyah, GAROEDA BUANA INDAH, pasuruan,1994, hal.195.
[17] Ahmad Abd, Majid, op.cit.,hal.196.
[18] Ibid.
[19] Ahmad Abd, Majid, op.cit.,hal.200.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar